“Sebentar,
sebentaaar naak sabar lah sebentar” bujuk seorang janda tua kepada anak nya, yang
mulai merengek minta makan. Digubug yang kecil, beratapkan pelepah daun pandan
mata tua menerawang ke luar rumah, sempat sekilas mampir dalam bayangnya hutan
yang dulu menyediakna segalanya bagi dia. Kemudian dia berenjak “ tunggu
dirumah sebentar, ibu keluar dulu mencarikan makan untuk mu”berjalan tertatih
tanpa alas kaki, menatap dan terus berjalan kedepan dengan penuh keyakinan
sembari menggendong sepongkak kayu bakar sisa-sisa penebangan hutan di belakang
rumah. Setapak demi setapak jalan berkelok nan terjal dia tapaki dengan penuh
harapan, pulang dengan sebungkus nasi ditangannya.
Kakinya terhenti
disebuah warung kecil yang terlihat menyediakan beberapa sayur dan lauk pauk
siap makan, ibu tuapun mulai menawarkan kayu bakarnya untuk dijual atau sebatas
ditukar dengan sebungkus nasi. Manusia boleh berharap, manusia juga bisa
berjuang namun apadika jika fakta harus membuatnya mengerutkan wajah? “ maaf bu
gak butuh kayu bakar”. Betapa kecewanya ibu itu menghadapi penolakan “ duh
gusti apa ini yang namanya zaman moderen, kayu bakar pun manusia mulai tak mau,
begitu kotorkah debu dan angus bagi mereka gusti”. Hatinya meratap, hatinya
berontak dengan tatanan yang baginya tak adil, saat dulu hutan pun mampu
menjadi sumber penghidupan , hutan mampu menyediakan apa yang dibutuhkan
sekedar untuk mempertahankan hidup, namun kini semua itu tinggal sebuah lukisan
yang nampak indah untuk diingat.
Kakinya mulai
berjalan lagi, berjalan dan terus berjalan sembari menantang sang kekuatan
takdirnya hari ini. Takkan pernah ku biarkan takdir membunuh anak ku yang tak
bersalah, anak yang hanya sebatas ingin mengisi perutnya dengan beberapa ganjal
makanan, tak harus nasi jika memang bumi ini tidak menyediakn nasi untuk
manusia-manusia bumi, tak perlu roti jika zaman tak menyediakan roti untuk
anak-anak yang tak berduit, sebatas pengganjal apapun itu Tuhan. Tubuhnya masih
bertahan untuk menantang jalan terjal yang merefleksi kakinya, tiba-tiba
matanya tertuju mada sosok gadis berjilbab biru diatas batu besar yng seang
asik dengan selembar kertas dan pena ditangannya. Disapa gadis itu “ permisi
nak, bisakah ibu meminta bantuan mu?”, tersentak kaget gadis itu melihat ibu
yang mulai tua dengan baju compang-camping, iya bu ada apa? Jawab gadis itu
dengan seyuman. “ apakah ada salah satu keluarga atau mungkin tetanggamu yang
membutuhkan kayu bakar untuk memasak? Ibu butuh makan nak, untuk anak ibu
dirumah yang dari kemarin belum makan”. Gadis itu diam sejenak, kemudian dia
meraih dua tongkat disebelah badannya untuk membantu tubuhnya turun, “ mari bu
ikut saya kerumah” gadis itu mengajak wanita tua itu berjalan menuju rumahnya.
Rumah yang
sederhana, hanya beberpa perabotan penghias ruang tamu terpajang disudut-sudut
dinding. Dipersilahkan wanita itu duduk dikursi anyaman bambu, ibu silahkan
duduk sebentar disini saya buatkan minum dulu ya bu! “ ah tidak perlu
repot-repot nak, ibu harus segera pulang
karena anak ibu menunggu”. Iya bu, tunggulah sebentar ibu pasti haus
setelah perjalanan jauh. Tak sela bebebrapa lama gadis itu keluar dengan
segelas minuman, silahkan diminum bu. Setelah wanita tua itu menghabiskan
minumannya gadis itu mengajaknya ke belakang rumah“ maaf bu saya tinggal sendiri dirumah ini, ayah dan
ibu sudah tidak ada, namun ibu jangan khawatir, jika hanya untuk mengisi perut
anak ibu saya ada beberapa ketela, ibu bisa membawanya”. Ditunjuknya dengan
jari-jarinya ke arah beberapa keranjang berisi ketela, ibu bisa mengambilnya
dan bawalah beberapa pohon untuk nanti bisa ibu tanam. Dipeluknya erat gadis itu,
air matanya bercucuran hatinya campur aduk “ terimaksih nak, terimakasih atas
ketulusan hati dan budi mu, ternyata masih ada gadis sebaik dirimu di zaman
edan ini”.
0 komentar:
Posting Komentar