Minggu, 20 Oktober 2013




“Sebentar, sebentaaar naak sabar lah sebentar” bujuk seorang janda tua kepada anak nya, yang mulai merengek minta makan. Digubug yang kecil, beratapkan pelepah daun pandan mata tua menerawang ke luar rumah, sempat sekilas mampir dalam bayangnya hutan yang dulu menyediakna segalanya bagi dia. Kemudian dia berenjak “ tunggu dirumah sebentar, ibu keluar dulu mencarikan makan untuk mu”berjalan tertatih tanpa alas kaki, menatap dan terus berjalan kedepan dengan penuh keyakinan sembari menggendong sepongkak kayu bakar sisa-sisa penebangan hutan di belakang rumah. Setapak demi setapak jalan berkelok nan terjal dia tapaki dengan penuh harapan, pulang dengan sebungkus nasi ditangannya.
Kakinya terhenti disebuah warung kecil yang terlihat menyediakan beberapa sayur dan lauk pauk siap makan, ibu tuapun mulai menawarkan kayu bakarnya untuk dijual atau sebatas ditukar dengan sebungkus nasi. Manusia boleh berharap, manusia juga bisa berjuang namun apadika jika fakta harus membuatnya mengerutkan wajah? “ maaf bu gak butuh kayu bakar”. Betapa kecewanya ibu itu menghadapi penolakan “ duh gusti apa ini yang namanya zaman moderen, kayu bakar pun manusia mulai tak mau, begitu kotorkah debu dan angus bagi mereka gusti”. Hatinya meratap, hatinya berontak dengan tatanan yang baginya tak adil, saat dulu hutan pun mampu menjadi sumber penghidupan , hutan mampu menyediakan apa yang dibutuhkan sekedar untuk mempertahankan hidup, namun kini semua itu tinggal sebuah lukisan yang nampak indah untuk diingat.
Kakinya mulai berjalan lagi, berjalan dan terus berjalan sembari menantang sang kekuatan takdirnya hari ini. Takkan pernah ku biarkan takdir membunuh anak ku yang tak bersalah, anak yang hanya sebatas ingin mengisi perutnya dengan beberapa ganjal makanan, tak harus nasi jika memang bumi ini tidak menyediakn nasi untuk manusia-manusia bumi, tak perlu roti jika zaman tak menyediakan roti untuk anak-anak yang tak berduit, sebatas pengganjal apapun itu Tuhan. Tubuhnya masih bertahan untuk menantang jalan terjal yang merefleksi kakinya, tiba-tiba matanya tertuju mada sosok gadis berjilbab biru diatas batu besar yng seang asik dengan selembar kertas dan pena ditangannya. Disapa gadis itu “ permisi nak, bisakah ibu meminta bantuan mu?”, tersentak kaget gadis itu melihat ibu yang mulai tua dengan baju compang-camping, iya bu ada apa? Jawab gadis itu dengan seyuman. “ apakah ada salah satu keluarga atau mungkin tetanggamu yang membutuhkan kayu bakar untuk memasak? Ibu butuh makan nak, untuk anak ibu dirumah yang dari kemarin belum makan”. Gadis itu diam sejenak, kemudian dia meraih dua tongkat disebelah badannya untuk membantu tubuhnya turun, “ mari bu ikut saya kerumah” gadis itu mengajak wanita tua itu berjalan menuju rumahnya.
Rumah yang sederhana, hanya beberpa perabotan penghias ruang tamu terpajang disudut-sudut dinding. Dipersilahkan wanita itu duduk dikursi anyaman bambu, ibu silahkan duduk sebentar disini saya buatkan minum dulu ya bu! “ ah tidak perlu repot-repot nak, ibu harus segera pulang  karena anak ibu menunggu”. Iya bu, tunggulah sebentar ibu pasti haus setelah perjalanan jauh. Tak sela bebebrapa lama gadis itu keluar dengan segelas minuman, silahkan diminum bu. Setelah wanita tua itu menghabiskan minumannya gadis itu mengajaknya ke belakang rumah“ maaf bu  saya tinggal sendiri dirumah ini, ayah dan ibu sudah tidak ada, namun ibu jangan khawatir, jika hanya untuk mengisi perut anak ibu saya ada beberapa ketela, ibu bisa membawanya”. Ditunjuknya dengan jari-jarinya ke arah beberapa keranjang berisi ketela, ibu bisa mengambilnya dan bawalah beberapa pohon untuk nanti bisa ibu tanam. Dipeluknya erat gadis itu, air matanya bercucuran hatinya campur aduk “ terimaksih nak, terimakasih atas ketulusan hati dan budi mu, ternyata masih ada gadis sebaik dirimu di zaman edan ini”.

0 komentar:

Posting Komentar